Proses revisi Tata Tertib (Tatib) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang tengah dibahas pada awal Februari 2025 menuai kontroversi. Beberapa perubahan yang diusulkan terkait dengan kewenangan parlemen dinilai berpotensi mengubah keseimbangan kekuasaan antara lembaga negara. Para pengamat khawatir, jika disetujui, revisi tersebut dapat berujung pada supremasi parlemen yang berlebihan, yang dapat mengancam prinsip checks and balances dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Apa yang Terjadi dalam Revisi Tatib DPR?
Revisi Tata Tertib DPR yang saat ini tengah dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR berfokus pada sejumlah perubahan substansial, terutama yang berkaitan dengan peran dan kewenangan DPR dalam pengawasan terhadap pemerintah. Salah satu poin yang menjadi perhatian utama adalah penambahan kewenangan DPR dalam menentukan jadwal sidang. Serta perubahan prosedur pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
Selain itu, revisi ini juga menyertakan perubahan terkait proses pemilihan pimpinan DPR yang dianggap lebih mengedepankan kesepakatan internal. Bukan berdasarkan aturan yang sudah ada sebelumnya. Perubahan ini menimbulkan kecemasan di kalangan sejumlah pihak yang menilai bahwa DPR akan semakin kuat dan mengesampingkan peran eksekutif dan yudikatif.
Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa revisi ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi kerja DPR dan memastikan lembaga ini dapat lebih efektif dalam mengontrol jalannya pemerintahan. “Kami ingin memperkuat pengawasan terhadap kebijakan pemerintah agar lebih transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Namun, meski niat tersebut terlihat positif, sejumlah pihak menganggap bahwa perubahan ini bisa berisiko pada pergeseran kekuasaan yang lebih dominan di tangan DPR. Bertentangan dengan semangat demokrasi Indonesia yang mengedepankan prinsip pemisahan kekuasaan.
Kontroversi Supremasi Parlemen: Pengawasan yang Kebablasan?
Salah satu kritik terbesar terhadap revisi Tatib DPR ini adalah potensi munculnya supremasi parlemen yang berlebihan. Menurut pengamat hukum tata negara, Dr. Haryanto Prawiro, perubahan yang diusulkan dapat menyebabkan DPR memiliki kekuasaan yang terlalu dominan dalam menentukan arah kebijakan negara, sementara eksekutif dan yudikatif menjadi lebih terpinggirkan.
“Jika DPR diberikan kewenangan yang lebih besar dalam hal penjadwalan sidang dan pengawasan kebijakan pemerintah. Maka lembaga ini akan memiliki kendali yang lebih besar terhadap jalannya pemerintahan. Berisiko mengurangi fungsi checks and balances antara lembaga negara,” ujar Dr. Haryanto dalam wawancaranya dengan sejumlah media.
Menurutnya, dalam sistem pemerintahan yang sehat, pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus tetap terjaga agar tidak ada lembaga yang mendominasi. Jika revisi Tatib ini diterima tanpa pembahasan yang lebih mendalam. Ia khawatir akan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang berujung pada otoritarianisme parlemen.
Dampak Terhadap Pemerintahan dan Demokrasi Indonesia
Pergeseran kekuasaan yang terjadi akibat revisi Tatib DPR dapat mempengaruhi hubungan antara parlemen dan pemerintah, serta dapat berdampak pada stabilitas politik di Indonesia. Dengan kekuasaan yang semakin besar, DPR dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah lebih dominan. Tanpa ada ruang untuk eksekutif dan yudikatif untuk mengoreksi atau menilai kebijakan yang diambil.
Salah satu dampak langsung yang dapat terjadi adalah pengambilan keputusan yang lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Sehingga mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Selain itu, pemerintahan yang berjalan tanpa pengawasan yang memadai dari lembaga eksekutif dan yudikatif dapat memperburuk praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Democracy Forum (IDF), Siti Aisyah, peran DPR dalam pengawasan pemerintahan sangat penting. Namun perlu ada batasan yang jelas agar tidak terjadi overreach atau campur tangan yang berlebihan dalam urusan eksekutif. “Pengawasan parlemen memang penting, tetapi jika DPR sudah mempengaruhi terlalu banyak kebijakan eksekutif, kita khawatir akan muncul dominasi politik yang merugikan masyarakat,” jelas Siti.
Perspektif Pihak Pendukung Revisi Tatib
Meskipun menuai kritik, ada juga sejumlah pihak yang mendukung revisi Tatib DPR ini. Mereka berpendapat bahwa perubahan yang diajukan justru akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat. Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Agus Subagyo, penguatan peran parlemen dalam pengawasan pemerintah adalah langkah yang tepat untuk menjaga transparansi.
“Parlemen harus lebih terlibat dalam memantau kebijakan pemerintah, karena kami adalah representasi langsung dari rakyat. Dengan pengawasan yang lebih ketat, kami bisa memastikan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat,” tegas Agus.
Namun, meskipun ada argumen dari pihak yang mendukung, tetap saja ada keprihatinan bahwa perlu ada pembatasan yang jelas terhadap kekuasaan DPR dalam struktur revisi ini. Jika tidak, justru akan mengarah pada situasi di mana kekuasaan parlemen lebih dominan daripada lembaga negara lainnya.
Keseimbangan Kekuasaan yang Harus Dijaga
Revisi Tatib DPR yang tengah dibahas ini memang memunculkan perdebatan panjang tentang batasan kewenangan parlemen. Meskipun meningkatkan peran DPR dalam pengawasan pemerintah bisa dianggap penting. Ada risiko besar jika revisi ini diterima tanpa kajian yang lebih mendalam mengenai dampaknya terhadap keseimbangan kekuasaan di Indonesia.
Penting bagi pemerintah, DPR, serta masyarakat untuk terus mengawasi dan membahas revisi ini secara hati-hati. Jangan sampai niat untuk memperkuat fungsi parlemen justru mengarah pada dominasi kekuasaan yang merugikan prinsip demokrasi yang sudah lama dijaga.
Jika revisi Tatib DPR diterima dengan bijak dan menjaga prinsip checks and balances. Maka hasilnya akan lebih bermanfaat untuk kemajuan demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Namun, jika kebijakan ini disetujui tanpa pembatasan yang tepat. Maka kita berisiko kehilangan keseimbangan kekuasaan yang selama ini menjadi pilar dalam sistem pemerintahan Indonesia.