Cirebon, 15 Februari 2025 – Pembuatan Wayang Kulit di Cirebon. Di tengah arus modernisasi yang semakin pesat, seorang kakek berusia 71 tahun di Cirebon berjuang untuk menjaga kelestarian pembuatan wayang kulit, salah satu warisan budaya yang semakin tergerus zaman. Maman Suherman, seorang perajin wayang kulit yang telah menekuni profesinya selama lebih dari lima dekade, terus berusaha melestarikan seni tradisional ini di tengah tantangan zaman.
Melawan Arus Modernisasi Pembuatan Wayang Kulit di Cirebon
Wayang kulit telah lama menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Namun, perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat membuat seni ini semakin ditinggalkan. Banyak generasi muda yang lebih tertarik pada hiburan modern daripada mempelajari keterampilan membuat wayang kulit.
Maman Suherman, yang tinggal di Desa Trusmi, Kabupaten Cirebon, menyadari bahwa seni ini harus terus diwariskan agar tidak punah. “Sekarang sudah jarang anak muda yang mau belajar membuat wayang. Kalau tidak ada yang meneruskan, seni ini bisa hilang,” ujar Maman saat ditemui di bengkel kerjanya yang sederhana.
Dengan tangan yang mulai keriput, ia masih dengan telaten mengukir lembaran kulit kerbau menjadi tokoh-tokoh wayang yang penuh detail. Ia mengaku telah belajar seni ini sejak usia belasan tahun dari ayahnya, yang juga seorang dalang dan perajin wayang.
Upaya Pelestarian di Tengah Minimnya Regenerasi
Tidak hanya terus berkarya, Maman juga berusaha mengajarkan keterampilan ini kepada generasi muda. Ia kerap mengadakan pelatihan gratis bagi anak-anak dan remaja yang tertarik belajar. Namun, minat mereka masih tergolong rendah.
“Saya pernah membuka kelas belajar membuat wayang, tapi yang datang hanya beberapa orang. Banyak yang menganggap ini sulit dan memerlukan waktu lama untuk mahir,” katanya.
Maman juga menyayangkan kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dalam upaya pelestarian ini. Menurutnya, jika ada program khusus yang melibatkan sekolah-sekolah atau komunitas seni, maka wayang kulit bisa kembali mendapat tempat di hati generasi muda.
Baca Artikel Lainnya : Geopark Sebagai Pendekatan Berkelanjutan untuk Mendorong Pemulihan Ekonomi Global
“Kalau ada program khusus, mungkin anak-anak bisa lebih tertarik. Selama ini, yang mendukung biasanya komunitas seni atau pecinta budaya saja,” tambahnya.
Tantangan di Era Digital
Salah satu tantangan besar dalam pelestarian wayang kulit adalah persaingan dengan hiburan modern. Banyak anak muda lebih tertarik pada media sosial, video game, dan film dibandingkan dengan seni tradisional.
Namun, Maman tidak menyerah begitu saja. Ia mulai memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan karyanya. Dengan bantuan cucunya, ia mengunggah proses pembuatan wayang kulit ke platform seperti YouTube dan Instagram. “Saya berharap, lewat media sosial, orang-orang bisa lebih mengenal seni ini dan tertarik untuk belajar,” katanya.
Upaya ini mulai membuahkan hasil. Beberapa peminat dari luar daerah bahkan mancanegara mulai tertarik dengan karyanya. Permintaan untuk wayang kulit buatannya pun meningkat, baik dari kolektor maupun pegiat seni.
Harapan untuk Masa Depan
Maman berharap bahwa kesenian wayang kulit tidak hanya dipandang sebagai benda koleksi, tetapi juga sebagai warisan budaya yang harus dijaga. Ia berharap ada lebih banyak anak muda yang tertarik untuk meneruskan tradisi ini.
“Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa terus membuat wayang. Tapi saya ingin setidaknya ada generasi yang bisa meneruskan,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Pelestarian wayang kulit memang bukan hal yang mudah, tetapi dengan dedikasi dan semangat yang dimiliki oleh sosok seperti Maman Suherman, warisan budaya ini masih memiliki harapan untuk terus bertahan di tengah arus modernisasi.